Oleh: Khaidarulloh
Dosen Filsafat Hukum Islam FASYA IAIN Ponorogo
Co-Editor komunitaspintu.id
"Mahasiswa dan Idealisme tidak bisa dipisahkan. Tanpa Idealisme, mahasiswa hanya nama. Dengan Idealisme, mahasiswa adalah harapan."
Menjadi mahasiswa bukan hanya perihal datang ke kampus, menyimak kuliah, lalu pulang dengan bangga karena sudah setor muka ke dosen. Menjadi mahasiswa juga bukan cuma rutinitas datang pagi, duduk paling depan biar dibilang serius, nyimak dosen sambil scroll TikTok diam-diam, lalu pulang dengan wajah paling lelah se-jagat raya. Bukan pula soal ngumpulin tugas semalam sebelum deadline sambil drama di WAG.
Menjadi mahasiswa bukan sekadar status akademik. Ia adalah identitas dengan kesadaran baru, transisi dari masa muda yang labil menuju masa dewasa yang penuh pilihan. Mereka adalah pengemban peran sebagai pewaris semangat zaman, pemegang obor perubahan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di sinilah Idealisme menemukan tempatnya—bukan sekadar angan, tapi api kecil yang membakar ketakutan dan kemalasan, menjadi cahaya bagi jalan hidup yang lebih luas dari sekadar urusan pribadi. Idealisme memberi keberanian untuk menolak hidup yang stagnan, menggugah manusia agar tak sekadar menjadi roda dalam mesin, melainkan pelaku sejarah yang sadar dan memilih arah.
Sayangnya, dalam dunia yang serba cepat, kompetitif, dan penuh distraksi algoritma hari ini, Idealisme sering diperlakukan seperti mimpi di siang bolong—indah tapi tidak praktis. Bahkan, di tengah dunia modern yang cenderung bising dan banal, Idealisme sering dianggap barang rongsokan. Ia dituduh sebagai "kemewahan" yang tidak relevan dengan kenyataan hidup, dianggap terlalu utopis, dan sering jadi bahan cibiran seperti yang sering bergema disekitar kita: “Idealisme itu cuma cocok buat orang yang belum tahu pahitnya hidup... Ngapain idealis, toh ujung-ujungnya cari makan juga... Yang penting kerja, bukan banyak Idealisme.”
Padahal, justru di usia inilah Idealisme seharusnya tumbuh subur. Cibiran seperti itu terdengar logis, tapi sejatinya adalah manipulasi berpikir (false dilemma; dilema palsu) seolah hidup hanya bisa memilih antara Idealisme atau kenyataan (realistis), padahal keduanya bisa berjalan bersamaan. Cibiran itu juga bisa disebut bentuk normalisasi kompromi moral yang menular. Tanpa disadari, ini adalah pembunuhan karakter masa muda secara perlahan. Padahal, Idealisme yang sejati justru bisa bertumbuh dewasa bersama tanggung jawab hidup, bukan ditinggalkan di belakang. Alhasil, mencibir Idealisme atas nama "realitas" adalah kesesatan berpikir yang membuat generasi muda kehilangan arah sebelum sempat memilih jalan, atau mengulik filosofi hidupnya sendiri.
Akar Idealisme
Kata Idealisme berasal dari bahasa Latin idea, yang berarti “gagasan,” “bentuk,” atau “citra pikiran.” Dalam tradisi filsafat, istilah ini menemukan fondasi kuat dalam pemikiran Plato (427–347 SM). Bagi Plato, realitas sejati bukanlah yang tampak oleh pancaindra, melainkan ide-ide abadi yang ada di luar dunia fisik—seperti kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Dunia nyata hanyalah bayangan dari bentuk ideal itu, sementara akal adalah jembatan untuk mencapainya. Dengan kata lain, Idealisme dalam filsafat menunjuk pada pandangan bahwa kenyataan tidak dapat sepenuhnya dipahami hanya lewat indera, melainkan melalui struktur ide, nilai, atau akal. Ini memberi pesan kuat: bahwa yang menentukan bukan hanya apa yang tampak, tapi apa yang diyakini. Nilai, prinsip, dan kebenaran yang tak terlihat—itulah substansi dari perjuangan hidup dan ilmu.
Dalam konteks mahasiswa, Idealisme adalah semangat untuk hidup berdasarkan nilai, bukan semata kenyamanan identitas atau sekadar perburuan nilai akademik. Menjadi mahasiswa bukan sekadar menempuh pendidikan tinggi, tapi juga lompatan eksistensial dari masa remaja menuju dunia kedewasaan. Di tengah proses pendewasaan itu, Idealisme muncul sebagai pelita yang memberi arah. Maka Idealisme adalah bekal paling penting: bukan karena ia praktis, tapi karena ia memberi arah saat jalan hidup mulai kabur.
Namun, penting untuk dicatat bahwa Idealisme tidak hanya lahir dari filsafat. Akar Idealisme juga bisa tumbuh dari ajaran moral agama. Banyak agama besar dunia, apalagi Islam, menanamkan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kejujuran, pengorbanan, juga pembebasan. Nilai-nilai ini menjadi fondasi Idealisme bagi banyak orang, bahkan sebelum mereka terlibat dalam pemikiran filosofis. Seorang mahasiswa yang menjunjung tinggi kejujuran, karena keyakinan agamanya, sejatinya sedang menghidupi Idealisme. Begitu pula mereka yang, lewat refleksi dan akal, sampai pada keyakinan bahwa hidup harus dijalani dengan integritas dan tujuan yang lebih besar.
Dengan kata lain, Idealisme bisa berakar pada dua sumber besar: iman dan rasio—ajaran moral yang diwariskan secara spiritual, dan pencarian kebenaran melalui filsafat. Keduanya sama-sama memberi arah pada manusia untuk tidak sekadar menjalani hidup, tetapi menghidupi nilai. "Kalau hidup hanya sekadar hidup, kera di hutan saja hidup," tegas Buya Hamka dalam quote-nya yang terkenal itu.
Sederhananya, Idealisme adalah kesadaran, konstruksi pikiran, atau keberanian untuk percaya pada nilai, memperjuangkan apa yang diyakini benar, dan tidak menyerah pada kenyataan yang pahit. Mahasiswa idealis bukan berarti tidak realistis. Justru ia sadar betul kenyataan, tapi menolak tunduk sepenuhnya pada arus pragmatisme yang kadang mengorbankan prinsip. Namun, tantangan zaman ini tidak ringan. Banyak mahasiswa hari ini dihadapkan oleh tuntutan ekonomi, budaya instan, dan tekanan sosial yang menyempitkan cita-cita mereka. Mereka kadang terpaksa untuk berpikir: “yang penting cepat lulus”, “asal IPK aman”, “asal dapat kerja”. Mereka tidak bisa untuk disalahkan sepenuhnya, tapi jika hidup mahasiswa hanya dibingkai oleh rumus itu, konsekuensi logisnya bisa kehilangan kedalaman.
Idealisme Sebagai Kompas Moral
Idealisme penting karena ia memberi makna. Ia menjadi penuntun saat jalan hidup terasa absurd. Ia membuat seseorang tetap teguh pada kejujuran saat yang lain memilih jalan pintas. Ia mendorong mahasiswa, tidak hanya sibuk dengan tugas kampus, tapi juga peduli pada realitas sosial yang lebih luas. Mahasiswa yang idealis tidak hanya bertanya “apa manfaat kuliah ini bagiku?”, tapi juga “apa yang bisa kuliah ini berikan untuk orang lain?”
Sebagian orang sinis pada Idealisme. Mereka berkata, “Hidup ini keras, jangan terlalu banyak berharap.” Kalimat itu tampak realistis, tapi sebenarnya melemahkan. Jika semua orang berhenti berharap pada yang ideal, dari mana perubahan akan datang? Dunia tidak butuh lebih banyak orang cerdas yang apatis. Dunia butuh pemuda yang cerdas dan tetap punya kepekaan nurani, seperti dikatakan oleh Tan Malaka, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda." Artinya, saat semua pilihan terasa sempit, Idealisme adalah ruang kemerdekaan terakhir bagi jiwa muda untuk tetap bermakna dan tangguh.
Di sisi lain, ada juga yang terlalu fanatik pada Idealisme sampai menutup nurani dari kenyataan. Mahasiswa seperti ini rentan terjebak dalam romantisme perjuangan, tanpa mau berdialog dengan fakta. Mereka bicara soal keadilan, tapi alergi mendengarkan orang yang berbeda pandangan. Ini juga tidak sehat. Idealisme yang baik justru membuka ruang untuk belajar, berdialog, dan bertumbuh bersama, bukan milik eksklusif satu kelompok saja. Dalam konteks ini, idealisme mahasiswa seharusnya fleksibel namun tetap teguh pada nilai-nilai dasarnya. Mahasiswa idealis bisa beradaptasi dengan zaman, teknologi, dan tantangan global, tapi tetap punya kompas moral yang menuntunnya.
Mewarisi jejak pemikir bangsa
Dalam sejarah Indonesia, Idealisme bukan barang baru. Idealisme bukanlah gagasan yang lahir di ruang hampa. Tirto Adhi Soerjo (1880–1918), pelopor pers nasional, menjadikan pena sebagai alat perlawanan terhadap penjajahan. Lewat Koran Medan Prijaji, ia menanamkan kesadaran politik di kalangan bumiputera. Ia percaya bahwa pengetahuan dan informasi bukan sekadar alat pencerdasan, tapi sarana pembebasan. Dengan menulis dan membuka ruang wacana publik, Tirto melawan struktur kekuasaan yang membungkam, sekaligus menanamkan bibit nasionalisme yang rasional. Ia membuktikan bahwa Idealisme bisa mengambil bentuk konkret: tulisan yang menggugah, ide yang membakar, dan keberanian yang menular. Bahkan, Soekarno (1901–1970), sang proklamator, memadukan Idealisme Kebangsaan dan keberanian menantang Kolonialisme. Ia percaya bahwa kemerdekaan tanpa nilai hanyalah pemindahan kekuasaan belaka. Kemerdekaan sejati hanya bermakna jika dibarengi dengan keadilan sosial, martabat manusia, dan kesadaran kolektif akan identitas bangsa.
Tokoh lain, Tan Malaka (1897–1949) misalnya, seorang intelektual revolusioner, menawarkan bentuk Idealisme yang radikal namun membumi. Dalam karya monumentalnya Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), ia tidak sekadar menulis filsafat, tapi mengupayakan emansipasi pikiran bangsa Indonesia dari belenggu takhayul (Logika Mistika) dan Feodalisme Intelektual. Ia ingin agar kaum muda Indonesia—terutama mahasiswa—tidak hanya pandai menghafal, tetapi mampu berpikir logis, kritis, dan progresif. Bagi Tan Malaka, berpikir adalah tindakan revolusioner, dan Idealisme sejati harus dibangun di atas dasar pengetahuan ilmiah serta keberanian moral. Senada, Pramoedya Ananta Toer (1925–2006), sastrawan besar asal Blora yang mendunia, meski dibungkam rezim Orde Baru, terus menulis dengan keyakinan bahwa satu kalimat jujur bisa melawan kebohongan sistematis. Kata-kata Idealis yang pernah ia lontarkan: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah." Walakin, semua mereka hidup dengan luka, tapi tidak pernah menjual Idealisme.
Dari para tokoh dan pengalaman sejarah, kita belajar bahwa Idealisme bukanlah beban yang memberatkan langkah, melainkan sumber tenaga yang mendorong kita terus bergerak, bahkan saat jalan terasa gelap. Idealisme bukan sekadar kumpulan cita-cita muluk, apalagi dogma yang kaku. Ia adalah kompas nilai—yang justru membuka ruang berpikir, bukan membatasi. Mahasiswa yang idealis tidak hidup dalam angan-angan kosong. Ia sadar bahwa kenyataan kadang keras dan tidak sesuai harapan. Tapi justru di sanalah letak kekuatannya: ia tidak lari dari fakta, tapi berdialog dengannya. Ia mengolah kekecewaan menjadi pelajaran, dan mempertahankan prinsip tanpa kehilangan akal sehat dan kewarasan.
Akhirnya: pesan moral
Kita tidak bisa berharap semua mahasiswa menjadi aktivis (populis), tapi kita bisa berharap semua mahasiswa menjadi manusia. Manusia yang berpikir kritis, tidak asal ikut arus, dan sadar bahwa ilmunya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk peradaban. Inilah esensi Idealisme: semangat untuk terus mencari makna, menyuarakan kebenaran, dan tidak pernah berhenti berharap—meski dunia kadang tampak gelap.
Jika mendengar lagi bahwa Idealisme itu tidak penting, tanyakan: siapa yang diuntungkan jika generasi muda berhenti bermimpi, dan hanya sibuk pada diri sendiri tanpa arah yang jelas? Cibiran terhadap Idealisme adalah bagian dari strategi lama untuk membuatmu ragu pada nilai dan kebenaran yang diyakini.
Karena itu, jika hari ini sedang merasa galau dengan kampus, atau jenuh dan kecewa dengan keadaan bangsa, jangan padamkan Idealisme-mu. Sedikit healing, bolehlah! Ingatlah bahwa bangsa ini dibangun oleh orang-orang idealis yang pada masanya juga dianggap "naif", "terlalu keras kepala", atau "terlalu bermimpi". Tapi dari merekalah Indonesia lahir. Tetaplah menyala!
Bacaan:Bertrand Russell, Sejarah filsafat Barat, Yogyakara: Pustaka Pelajar, 2007.Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, Jakarta: Inisani Press, 2004.Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000.Terinspirasi dari beberapa Novel Pramuoedya Ananta Toer, dan sumber bacaan lainnya.
Tags
Filsafat