Oleh: Azmi Mustaqim
Dosen Mata Kuliah Konseling dan Moderasi Beragama FTIK IAIN Ponorogo
Dosen Mata Kuliah Konseling dan Moderasi Beragama FTIK IAIN Ponorogo
Modernisasi kehidupan dan perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini semakin memberikan tantangan kepada manusia untuk menjadi pribadi yang religius – bertaqwa. Bagi individu yang tidak mampu mengelola tantangan ini akan berpotensi untuk jauh dari kehidupan yang religius: teralienasi secara agama.
Individu yang teralienasi secara agama memiliki kemungkinan untuk kembali pada ajaran agama. Mereka memiliki spirit yang lebih untuk belajar agama. Di satu sisi, kembalinya individu ke jalan agama adalah baik, akan tetapi di sisi lain tantangan lain adalah kepada siapa dia akan belajar agama. Di tengah arus informasi yang mudah didapat, keberagaman pemahaman beragama berpotensi mengancam pemahaman seorang individu terhadap nilai-nilai keagamaan. Artinya, ia dapat saja terjerumus pada pemahaman yang keliru.
Pada titik ini, peran seorang guru, ustadz atau konselor memiliki peran tersendiri. Dalam kajian konseling, kondisi teralienasi (terasing) agama dimaknai sebagai kondisi seorang konseli (orang yang sedang atau telah menerima layanan konseling dari seorang konselor atau pembimbing) yang memiliki kebimbangan, kebingungan, ketidaktahuan arah agama, namun mereka memiliki harapan untuk melalui permasalahan ini, lalu mencari seorang yang ahli untuk membantu memecahkan masalahnya. Guru, ustadz atau seorang ahli yang membantu mencarikan jalan keluar dari masalah ini dapat disebut sebagai konselor.
Dalam kajian konseling terdapat istilah konseling Islami. Konseling Islami dipahami sebagai terapi bicara yang didasarkan pada pemahaman dasar Islam tentang manusia yang memasukkan unsur spiritualitas dalam proses terapi. Konseling Islami memasukkan unsur rohani dalam praktik terapinya. Unsur tersebut tidak diketemukan dalam terminologi konseling Barat. Dengan berlandaskan pada konsep-konsep Islam, maka konseling Islami berfokus pada penyelesain problem individu berdasarkan sumber-sumber ajaran Islam. Oleh sebab itu, konselor, sebagai pribadi yang membantu, perlu memiliki pemahaman tentang ajaran Islam secara baik.
Islam adalah agama yang satu, namun memiliki beragam penafsiran dalam praktiknya. Secara substansi, seluruh muslim menerima kesaksian bertuhan kepada Allah dan mengakui nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Namun dalam penafsiran atas kitab-kitabnya, terdapat keberagaman yang membawa konsekuensi pada bervariasinya produk hukum. Sejarah telah mencatat, bagaimana keberagaman aliran teologi Islam telah memberi warna pada keragaman “berislam”. Teologi Islam, setidaknya, dapat dikelompokkan dalam tiga kategori besar. Pertama aliran teologi yang tekstualis. Aliran ini cenderung kaku, rigid dan ekstremis; kedua aliran yang liberalis: terlalu longgar dan semata mengacu pada kekuatan akal dibanding wahyu; dan ketiga kontekstualis, yaitu aliran yang berada di tengah-tengah, dan moderat. Ketiganya memiliki konsekuensi yang berbeda-beda dalam memandang agama.
Fakta menunjukkan bahwa keberadaan individu yang teralienasi agama berpotensi terjerumus pada perilaku ekslusif dalam hal beragama. Salah satunya akibat dari salah memilih guru agama. Mereka terjebak pada doktrin-doktrin tekstualis yang kaku dan melarang individu ini bergaul selain dari kelompoknya. Pada kasus yang lain, terjadi penyimpangan dalam menjalankan syariat akibat guru hanya menekankan aspek hakikat – yang dalam pemaknaan ini cenderung membebaskan seseorang untuk tidak menjalankan syariat agama. Akibatnya dua permasalahan ini, muncul dampak yang merugikan, baik bagi individu maupun lingkungan sekitarnya. Upaya pencarian kebenaran agama yang bertujuan untuk membebaskan diri dari alienasi beragama tidak tercapai dengan baik. Guru memiliki peran yang sangat besar bagi individu-individu yang sedang mencari kebenaran agama.
Pada aras ini, seorang konselor muslim yang akan memberikan bantuan kepada individu yang membutuhkan bantuan perlu benar-benar dipastikan memiliki pandangan beragama yang moderat. Memiliki sudut pandang Islam yang wasatiyah. Sudut pandang beragama yang tidak ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Sudut pandang ekstrim kanan memberikan bantuan secara tekstualis, directif, kaku dan rigid tanpa memandang unsur etis-kontekstualis. Sementara sudut pandang ekstrim kiri akan memberikan solusi konseling pada sikap liberalis, berlebihan dalam kebebasan, non-directif, mengacu pada etika manusia tanpa argumentasi dalil tekstualis. Dalam konteks ini, memiliki sikap moderat, yakni berada di tengah-tengah, sehingga memunculkan solusi konseling dengan berbagai pertimbangan naqli-aqli, serta mengetengahkan unsur kemaslahatan individu konseli adalah pilihan paling tepat. Pemahaman beragama yang moderat perlu dimiliki oleh konselor muslim supaya tidak menjadikan pribadi konseli terjatuh pada sikap fanatisme berlebihan dalam memahami agama yang berakibat pada cara pandang, sikap dan perilaku ekstrim ataupun liberal.
Oleh sebab itu, paradigma moderat nampak memainkan peran sentral dalam proses penyembuhan seseorang dari fase alienasi agama. Jangan sampai ketika individu sedang dalam posisi membutuhkan pertolongan, yang datang justru pertolongan yang kurang sesuai. Pertolongan yang dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Maka, dalam proses konseling, watak moderat perlu dipedomani agar tidak melanggar hak-hak individu maupun norma sosial. Agama sejatinya adalah problem solver. Begitu juga proses konseling, di mana hal tersebut merupakan upaya bantuan untuk menyelesaikan permasalahan dan mencapai aktualisasi diri yang paripurna.
Editor: R. Agnibayaa
Tags
Kajian Islam