Ketika Taylorisme dan Fordisme Masuk Aplikasi

 

Oleh: M. Thoha Ainun Najib
Dosen Ekonomi Mikro Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo

Dulu, kalau kita mendengar kata “buruh”, yang terbayang adalah bapak-bapak berseragam pabrik, pakai helm proyek, dan bawa bekal nasi bungkus. Tapi sekarang, buruh bisa saja seseorang yang naik motor, pakai jaket warna mencolok dan sibuk antar ayam geprek sambil mengecek notifikasi dari tiga aplikasi sekaligus. Selamat datang di era gig economy, di mana kerja itu fleksibel, bebas, dan kadang tanpa ada kontrak yang mengikat.

Tapi tunggu dulu. Fenomena ini bukan tanpa akar sejarah. Di balik sistem kerja cepat, target harian dan kontrol aplikasi yang nyaris real-time, diam-diam ada dua tokoh tua yang tersenyum puas dari alam ekonomi: Frederick Winslow Taylor dan Henry Ford. Keduanya mungkin tidak pernah naik ojek online, tapi prinsip mereka dalam dunia ekonomi dan bisnis hidup subur di setiap algoritma penjadwalan dan bonus mingguan driver.

Taylor adalah bapak manajemen ilmiah. Dalam studi ekonomi, prinsip-prinsip yang diperkenalkannya disebut sebagai Taylorisme. Taylor percaya bahwa setiap gerakan harus diukur, dihitung dan disempurnakan, bahkan kalau perlu sampai cara buruh mengikat tali sepatu. Kini, prinsip ini hadir dalam bentuk GPS, timer pengantaran, dan skor performa. Driver yang terlalu lama cari parkir bisa langsung kena penalti. Waktu itu uang dan algoritma adalah mandor yang tak kenal lelah.

Dalam konteks yang lebih luas, Taylorisme menuntut gerak pekerja ketika bekerja dianalisis untuk menghindari gerakan yang salah, lambat, atau sia-sia. Taylor menghendaki sebuah cara terbaik untuk mencapai tujuan. Ketika cara tersebut telah ditemukan, maka para pekerja dituntut secara konsisten menerapkan cara yang sama dengan harapan kualitas tinggi tetap terjaga. Dalam hal ini tidak ada ruang untuk berimprovisasi. Taylorisme menerapkan kontrol penuh dan ketat terhadap pekerja. Ini menjadi basis lahirnya sistem produksi robotik: penggunaan alat-alat produksi berupa robot atau menuntut pekerja manusia bertindak seperti robot, di mana kejelian dan repetisi (pengulangan) tindakan sangat ditekankan.

Ford, di sisi lain, adalah pionir produksi massal dan jalur perakitan. Dulu ia membuat mobil seperti membuat roti: cepat, konsisten, efisien. Fordisme memiliki karakteristik: produksi massal untuk produk-produk homogen dan rutinitas kerja yang terstandarisasi. Sekarang, prinsip itu hidup di dunia logistik online. Dari gudang Shopee sampai kurir ekspres, semua bergerak seperti roda gigi. Sistemnya efisien, konsumennya senang, tapi pekerjanya: Yah, banyak yang mengaku lebih akrab dengan stres.

Secara teori, gig economy ini adalah bentuk efisiensi produksi post-modern. Dalam kerangka teori neoklasik, pasar tenaga kerja seharusnya fleksibel. Selain itu, upah menyesuaikan permintaan-penawaran dan semua orang bisa memilih kerja sesuka hati. Tapi kenyataannya, banyak pekerja gig bukan “freelancer by choice”, tapi “freelancer by force”. Menjadi pekerja lepas bukan karena pilihan, tapi kondisi yang mendesak demikian. Pekerjaan dengan status “tetap” semakin langka, sementara itu kebutuhan makin ganas.

Coba kita tengok Indonesia per Mei 2025. Jumlah pekerja informal dan gig makin melonjak, sementara jaminan sosial dan perlindungan hukum masih setipis tisu basah. Pemerintah mulai sibuk menggagas “Kartu Pekerja Digital”, tapi banyak driver justru lebih berharap bonus bensin atau potongan cicilan motor. Jadi, meskipun kita bicara revolusi industri 4.0, di lapangan masih hidup ala overworked 1.0.

Lalu bagaimana dengan kesejahteraan. Nah, ini bagian yang sering luput. Taylor dan Ford dulu masih memberi jam kerja jelas dan gaji yang stabil. Tapi gig economy kadang seperti pacar PHP: ada order, ada duit. Sebaliknya, nggak ada order, ya cuma scroll aplikasi sambil ngelamun. Teori upah efisiensi mengatakan bahwa pekerja yang dibayar cukup akan lebih produktif. Tapi algoritma tampaknya tidak mengenal teori tersebut.

Ironisnya, semua ini berlangsung dalam sistem ekonomi digital yang konon demokratis dan inklusif. Padahal, seperti dikatakan oleh para kritikus kapitalisme platform, perusahaan digital ini sebenarnya hanya wujud pergantian bentuk dari pabrik ke server cloud. Buruh tetap buruh, hanya saja sekarang yang mengawasi mereka bukan mandor manusia, tapi kode program dan AI yang tidak bisa diajak kompromi soal macet atau hujan deras.

Jadi, Taylorisme dan Fordisme belum mati, mereka hanya bereinkarnasi dalam bentuk dashboard performa, insentif algoritmik dan pengingat push-notification. Efisiensi memang meningkat, tapi pertanyaannya: kesejahteraan siapa yang naik. Kalau hanya investor dan CEO, maka kita sedang membangun ekonomi cepat saji yang kenyangnya semu, tapi risikonya nyata.

Editor: R. Agnibayaa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak