Karena Perempuan Majapahit Berjaya

 

 

Oleh: R.N Bayu Aji
Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya (UNESA)

Perempuan dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara tidak banyak diungkap. Tidak bisa dimungkiri bahwa sejarah di Nusantara selama ini banyak didominasi oleh narasi kebesaran tokoh maupun raja yang berjenis kelamin laki-laki. Earl Drake, seorang mantan duta besar Kanada di Indonesia, memberikan warna lain dalam historiografi Nusantara dengan mengangkat tokoh perempuan di balik kejayaan imperiuam Majapahit. Secara khusus, Drake selalu menaruh perhatian terhadap sejarah kejayaan masa lalu negara-negara tempat ia ditugaskan ketika menjadi diplomat.

Earl Drake, yang juga merupakan doktor ilmu sejarah, tertarik menyelidiki lebih dalam tentang kejayaan Majapahit. Bukan sosok Gadjah Mada yang akan diangkat olehnya, tetapi ia jatuh hati dengan sosok ratu Gayatri Rajapatni yang dikaguminya melalui panggambaran patung Prajnaparamita, dewi pengetahuan tertinggi yang selama ini banyak diyakini sebagai Ken Dedes.

Melalui buku berjudul Gayatri Rajapatni, Perempuan Di Balik Kejayaan Majapahit yang diterbitkan oleh penerbit Ombak pada tahun 2012, Earl menulis kisah Majapahit dari sudut pandang Gayatri, sosok di dalam istana yang mengenal serta membimbing nyaris seluruh sejawat laki-laki pada zamannya, termasuk Mahapatih Gadjah Mada yang gesit dan berkehendak kuat.

Sumber primer yang digunakan dalam menarasikan sosok Gayatri dan peran pentingnya di balik kejayaan Majapahit diperoleh Drake dari Nagarakrtagama yang merupakan puisi epik Jawa karya Mpu Prapanca yang rampung pada 1365 di puncak kejayaan Majapahit dan Pararaton.

Gayatri merupakan anak bungsu dari Krtanagara, raja kerajaan Singhasari, Jawa Timur yang diyakini sebagai cikal bakal Majapahit. Ia merupakan ratu dari Raden Wijaya, raja pertama Majapahit dan juga ibu tiri Jayanagara dan ibu kandung Tribhuwana Tungga Dewi, nenek dari Hayam Wuruk (yang kesemuaannya adalah raja-raja Majapahit). Gayatri pula yang kemudian menjadi pembimbing Gadjah Mada sebagai Mahapatih Majapahit yang melegenda dengan sumpah palapanya.

Imperium Majapahit memang memiliki sejarah membanggakan yang tidak hanya memberikan warisan gemilang yang diturunkan kepada Indonesia modern, tetapi juga drama kontroversi. Kontroversi yang paling monumental tentu saja “Perang Bubat” yang menandai hubungan negatif antara kerajaan Jawa dan Sunda

Periode pengisahan Gayatri dimulai dari tahun 1289, saat ia berusia lima belas tahun di mana Singhasari yang dipimpin ayahnya Krtanagara menghadapi ancaman agresi Mongol. Dalam usia itu, Gayatri lebih tertarik dengan isu-isu agama dan politik kenegaraan yang digeluti oleh ayahnya daripada mengurusi kecantikan dan pinangan dari lelaki maupun putra mahkota raja-raja kerajaan lainnya. Semakin tumbuh dewasa, ia semakin sering terlibat dalam perbincangan dengan ayahnya dalam memimpin kerajaan.

Belajar dan terus belajar, itulah minat kuat dari Gayatri. Ayahnya menanggapinya dengan serius sehingga Krtanagara menugaskan resi Buddhis yang paling terpelajar saat itu yakni Terevanindu untuk menjadi gurunya. Selain belajar secara formal, Gayatri suka mempelajari kehidupan melalui sastra, teater, kesenian wayang dan kisah-kisah lakon dalam cerita Panji.

Pelajaran yang selalu diingat oleh Gayatri dari ayahnya sebelum meninggal karena diserbu pasukan Jayakatwang dari kerajaan Kediri adalah menjembatani perbedaan antara dua agama negara Jawa, yakni Budhisme dengan Hindu Syiwa. Selain itu, ia juga diberi pesan untuk menemukan cara bagaimana cara menangkal serbuan Mongol yang telah menaklukkan Rusia dan China.

Walaupun Jawa dan China dipisahkan oleh luasnya samudera, namun agresi itu sudah diantisipasi dengan membentuk konfederasi negeri-negeri Hindu-Budhis terdekat untuk bersatu dan melawan Mongol sebagai musuh bersama. Ide persatuan agama dan konfederasi merupakan pelajaran dari ayah Gayatri yang kelak pada saat Majapahit berdiri diperjuangkannya yakni “bersatu dalam perbedaan” membentuk ikatan bersama yang saat ini bisa jadi merupakan benih pembentukan nation.

Semenjak tentara Mongol diusir oleh Raden Wijaya dan kemudian membangun Majapahit, Gayatri dengan leluasa dapat membangun ide-ide Krtanagara. Perjalanan hidup bersama ayahnya beserta intrik-intrik dan pembunuhan dalam istana menunjukkan keberanian dan keteguhan dalam menjunjung prinsip yang dijunjungnya dengan disertai kemampuan kecerdasan.

Gayatri yang berada di lingkaran istana yang banyak didominasi laki-laki dengan cerdik menggerakkan para lelaki yang berkuasa agar melaksanakan visi religius dan politik ayahnya yang telah menjadi martir Singhasari. Ia juga berambisi menyatukan pulau-pulau seantero Nusantara yang terpisah dan terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil menjadi imperium Majapahit. Jika demikian adanya, maka muncul pertanyaan: bagaimana hubungan antara Gayatri dan Gadjah Mada yang dipercayai oleh banyak sejarawan sebagai tokoh paling berjasa yang membuat hampir semua keputusan penting pada era kejayaan Majapahit?

Earl menjelaskan bahwa meskipun Gadjah Mada memiliki kecersasan dan keberanian, namun ia merupakan seorang yang berasal dari kasta jelata dan tidak jelas asal usulnya. Pada saat yang bersamaan, para peguasa kerajaan dipercaya memiliki sifat-sifat dewata. Sedangkan para panglima dan menterinya dididik untuk patuh tanpa syarat apapun. Earl menilai di dalam bukunya bahwa Gadjah Mada bisa bertindak berani dan cerdas sedemikian rupa karena ada jaminan otoritas dari kerajaan.

Gadjah Mada mendapat bimbingan dan ilham dari Gayatri yang merupakan ibu suri istana. Gayatri memainkan peran sentral seperti cara tradisional Jawa yaitu diam-diam memberikan wewenang kerajaan dan penentu kebijakan kerajaan yang dilaksanakan oleh Mahapatih tersebut.

Namun demikian, rekonstruksi yang dibangun oleh Earl secara mutlak tidak lepas dari kekurangan. Keterbatasan sumber menjadikan karya ini memiliki subjektifitas tinggi karena antara persepsi budaya penulis dan objek yang diteliti memiliki perbedaan sehingga muncul pilihan kata “si jahat Jayakatwang”, “dengan hati-hati dan lihainya Gadjah Mada”, “Gayatri yang mabuk kemenangan”, “aula yang banjir darah bak boneka yang koyak”, dan masih banyak pilihan kata lainnnya yang begitu hiperbola dan lebih tepat digunakan dalam bahasa karya sastra.

Kebaruan dalam penafsiran “siapa yang berjasa di balik kejayaan Majapahit selain Gadjah Mada” dan pemunculan tokoh perempuan adalah langkah berani Earl dalam merekonstrusksi sejarah Majapahit melalui sudut pandang Gayatri Rajapatni. Tidak banyak sejarawan Indonesia yang memunculkan sosok perempuan dalam historiografi negerinya sendiri. Mungkin saja hal itu dikarenakan sifat patriarki yang tidak tersadar masih terus melekat dalam sejarah kita.

*Gambar ilustrasi diambil dari https://www.telusur.co.id/detail/karakter-dan-kekuatan-gayatri-rajapatni-tunggadewi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak