Perspektif Baru Melihat Akar Ketertinggalan Peradaban Islam: Menyoal Buku Ahmet T Kuru Islam, Outhoritarianism & Underdevelopment

 


Oleh: Khaidarullah*


Seorang Political Scientist abad 21, Prof. Ahmet T Kuru, menulis buku yang sangat menarik tentang akar ketertinggalan negara Muslim dengan judul Islam, Outhoritarianism, and Underdevelopment. Buku setebal hampir 500 halaman ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa, termasuk Indonesia. Sebagai buku yang sedang happening, ditulis dengan tradisi akademik yang ketat dan menyajikan perspektif berbeda dari kebanyakan studi sejarah Islam, menjadikan sarjana Muslim di Indonesia juga menaruh antusias yang tinggi, sehingga memunculkan diskusi-diskusi yang terus berlanjut hingga kini, dari kalangan pesantren hingga perguruan tinggi. Meskipun sebagian pendapat mengatakan terkesan generalisasi, sebagian lain menganggap sah secara akademik mendiskusikan kecenderungan umum akar ketertinggalan Muslim di dunia akibat otoritarianisme. Namun tetap ada pengecualian, sebagaimana fakta Muslim Indonesia yang lebih inklusif dan demokratis.

Di sisi lain, keunikan buku ini juga berawal dari kegelisahan Kuru ketika muda, saat masih di Turki, setelah mendengarkan hasil debat antara Ayahnya, seorang pejabat propinsi yang religius, dengan birokrat pemerintahan Kemal Attaturk yang sekularistik dalam menyoal kemunduran negara Muslim akibat doktrin agama atau kolonialisme. Saat itu, Kuru seperti mengalami kegelisahan, terlebih secara akademik, yang akhirnya mendorong untuk menelitinya dengan perspektif yang komparatif; membandingkan data-data historis dan kontemporer untuk menguji argumen-argumen dalam perdebatan tersebut. Kegelisahan ini akhirnya menjadi buku yang di garap di sela-sela pekerjaan Kuru sebagai Profesor Muda di Santiago University California.

Tesis utama dari buku ini adalah faktor utama kecenderungan ketertinggalan–untuk tidak mengatakan keterbelakangan–negara Muslim meraih kemajuan sebagaimana dominasi Barat hari ini atas ilmu pengetahuan. Argumen utama dalam bagian ini adalah aliansi (perselingkuhan) antara ulama-negara yang pernah terjadi di dalam sejarah, khususnya pada abad 11 dan 12, menimbulkan efek luar biasa setelahnya seperti terbelenggunya kebebasan berpikir hingga hari ini. Padahal, menurut Kuru, abad sebelum itu, terutama abad ke 8, peradaban Muslim melahirkan banyak sekali ilmuwan dengan berbagai bidang seperti Ibnu Sina, al Farabi, juga al Biruni yang kontributif terhadap ilmu pengetahuan dan sains. Namun, belakangan negara mayoritas Muslim dianggap tidak masuk ke dalam negara dengan predikat mengalami kesejahteraan di berbagai bidang. Temuan ini ia buktikan dengan berbagai data kuantitatif seperti laporan indokator atau indeks-indeks negara maju di dunia.

Buku ini terbagi ke dalam kedua bagian penting. Bagian pertama, meng-capture kondisi kontemporer mayoritas Negara Muslim dengan berbagai macam persoalan yang di anggap sedang mengalami kemunduran. Dalam hal ini, Kuru mencontohkan, tidak lebih dari seperlima dari 49 negara Muslim di dunia yang mampu melakukan demokrasi elektoral. Artinya, hanya sedikit negara yang mempunyai kebebasan berpendapat khususnya secara politik. Belum lagi masalah kekerasan atas nama "jihad" yang menelan korban hampir 5000 jiwa seperti di Nigeria, Suriah, Afghanistan dan Irak yang mana sejak 9/11 banyak media memberitakan kejadiannya. Bagi Kuru, kedua contoh ini menjadi indikator atas kemunduran Muslim hari ini karena dominannya otoritarianisme sosio-ekonomi dan kekerasan atas nama agama. Akhirnya, negara dengan penduduk mayoritas Muslim cenderung jauh dari rata-rata dunia.

Bagian kedua, pembaca diajak melihat fenomena masa lalu dalam konteks kemajuan peradaban Muslim hingga kemunduran Islam. Bagi Kuru, ternyata pengalaman sejarah abad ke 8, Islam sangat kompatibel dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga lebih maju dari kondisi Barat saat itu yang sedang mengalami masa kegelapan di tengah dominasi dan otoritarianisme berbasis gereja (Dark Age). Abad 7 -11 M menandai lahirnya heterodoksi dalam dunia Muslim. Masa ini melahirkan banyak Ilmuwan Muslim seperti al Kindi, al Farabi, Ibn Sina, Ibn Haytam, al Kahawarizmi dan sebagainya yang mana mereka tidak hanya kuat memahami Syariat Islam, Hafal Al-Qur'an, tetapi juga mendalami sains seperti matematika, fisika, kedokteran, musik, astronomi dan filsafat. Juga, melahirkan banyak pemikir hukum Islam (Imam Mazhab) seperti Syafii, Hambali, Hanafi, Maliki dan lainnya. Masa ini disebut Kuru sebagai masa kejayaan (Golden Age) dunia Muslim.

Paruh Abad 11 M, Kuru melihatnya sebagai masa menuju krisis. Selain menguatnya aliansi ortodoksi ulama-negara sebagai penyebab, juga sistem negara yang semakin menggerus dinamika saintifik dan independensi kaum borjuasi yang sebelumnya sudah sangat mendukung kaum intelektual-ulama independen dalam memproduksi ilmu pengetahuan. Khalifah al Qadir, generasi ke-25 bani Abbasiyah, menjadi tokoh yang penting menuju masa krisis dunia Muslim saat itu. Kuru dalam bukunya mengutip dekrit al Qadir yang sengaja menyeru untuk memerangi heterogensi menuju ortodoksi; memaksakan warga negara untuk mengikuti paham negara teokrasi (Sunni) seperti memerangi pengikut Syiah, Filosof, dan memurtadkan warga Muslim yang tidak memenuhi sholat lima waktu. Inkuisisi ini semakin menguat seiring sistem pajak (ifta') diberlakukan. Bahkan, mewariskan tradisi ortodoksi yang langgeng hingga abad 19 M,

Dinamisme saintifik Islam sebenarnya tidak reda setelah inkuisisi–yang oleh Kuru disebut masa krisis sekaligus menguatnya kekuasaan militeristik di atas. Masa krisis ini tetap melahirkan filosof Muslim cemerlang generasi kemudian: Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Namun, karena fokus khalifah hanya pada kekuasaan militer, warisan ini justru diadopsi Barat di tengah ueforia renaissance-nya (abad 13 M); Barat bangkit dengan tradisi baru; meninggalkan ortodoksi menuju masyarakat kosmopolitan yang heterodoks hingga mengembangkan ilmu pengetahuan yang sangat berguna, tidak hanya mendukung iklim kebebasan berpikir, namun juga menemukan teknologi perang seperti Kompas, Percetakan (Guitenberg) dan Mesiu, yang kemudian sangat bermanfaat untuk melancarkan imperialisme-kolonialiasme ke wilayah lain, termasuk negara Muslim.

Alhasil, buku ini sukses membawa pembaca kepada pemahaman yang holistik melihat wajah umat Muslim masa awal, terutama lima abad pertama, yang telah kuat berada pada iklim kosmopolitan, demokratis dan maju peradabannya. Selanjutnya, pembaca diajak untuk merenungkan bahwa ternyata: (1) keliru, jika ajaran Islam dianggap tidak kompatibel dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana stigma kaum orientalis, dan (2) keliru, jika penjajahan Barat atas negara Muslim sebagai satu-satunya "biang keladi" kemunduran umat Muslim hari ini. Kuru ingin masyarakat Muslim kembali berefleksi bahwa sikap ortodoksi yang memakai agama berselingkuh dengan kekuasaan (Ulama-State Aliance) berpotensi besar pada tersingkirnya independensi dan kreatifitas, sehingga dapat menghambat peradaban dan kemajuan sebagaimana terjadi sejak paruh abad 11 hingga hari ini. Meninggalkan otoritarianisme sekaligus mengambil inspirasi dari sejarah masa lalu, menurut Kuru, sangat berguna untuk meraih kembali renaissance Islam seperti pada lima abad pertama Islam yang pernah gemilang mengungguli peradaban Barat. Selamat membaca dan mengkritik.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak