*Tulisan ini mengantarkan penulis menjadi juara ke-2 lomba menulis esai mahasiswa tingkat nasional yang diselenggarakan oleh UM Purwokerto.
Muncul wacana
untuk menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa penghubung di ASEAN. Pertanyaannya: pantaskah bahasa Indonesia menyandang
posisi tersebut, jika kenyataannya di dalam negeri sendiri banyak generasi muda
yang lebih memilih dan bangga menggunakan bahasa asing. Hari ini isu tersebut
menjadi menarik untuk diperbincangkan.
Faktanya, hari
ini bahasa Indonesia di dalam negeri sendiri sering kali terpinggirkan oleh
penggunaan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, terutama di kalangan
generasi muda yang lebih akrab menggunakan bahasa gaul atau mencampuradukkan
dengan bahasa asing. Meskipun bahasa Indonesia kaya akan sejarah dan budaya,
banyak yang menganggapnya kurang 'keren' dibandingkan dengan bahasa asing.
Untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung di ASEAN, kita
perlu menanamkan rasa bangga dan kepedulian terhadap bahasa kita sendiri.
Penguatan pendidikan bahasa Indonesia yang lebih menarik dan relevan bagi
generasi muda menjadi sangat penting. Dengan memperkuat identitas bahasa
Indonesia di dalam negeri, kita dapat memperluas pengaruhnya di kawasan ASEAN
dan menjadikannya sebagai bahasa yang bukan hanya diakui, tetapi juga dihargai
di tingkat regional.
Dalam era
digitalisasi yang semakin mendominasi berbagai aspek kehidupan, generasi muda
dihadapkan pada berbagai perubahan sosial dan budaya yang tak terelakkan. Penggunaan
media sosial di kalangan anak-anak dan remaja telah mengalami peningkatan yang
signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan dari We Are
Social dan Hootsuite (Rogamelia
& Istiani, 2024) sekitar 90% anak-anak dan remaja di usia 13-18 tahun di
seluruh dunia memiliki akses ke media sosial. Perkembangan teknologi yang pesat
memberikan banyak kemudahan dalam mengakses informasi dan berkomunikasi, namun
juga membawa tantangan tersendiri bagi pelestarian budaya dan bahasa Indonesia.
Bahasa, sebagai identitas bangsa, mulai tersisih oleh arus globalisasi dan
dominasi bahasa asing, terutama bahasa Inggris, dalam ranah digital. Anak muda
yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melestarikan budaya lokal, kini
lebih banyak mengonsumsi budaya asing melalui media sosial, game online,
dan platform hiburan digital lainnya. Fenomena ini tidak hanya menggerus rasa
cinta terhadap bahasa Indonesia, tetapi juga menyebabkan menurunnya kepedulian
terhadap budaya nasional.
Merujuk pada
fakta di atas, maka memupuk kembali kepedulian generasi muda terhadap budaya dan bahasa
Indonesia, khususnya di era digitalisasi ini sangat diperlukan. Kebaruan gagasan dalam essai ini terletak pada upaya
untuk memupuk kepedulian generasi muda terhadap budaya dan bahasa Indonesia di
tengah derasnya arus digitalisasi. Alih-alih melihat teknologi sebagai ancaman,
essai ini mengajak pembaca untuk memanfaatkan era digital sebagai peluang guna
melestarikan budaya bangsa. Melalui berbagai platform digital seperti media
sosial, blog, vlog, hingga konten kreatif lainnya, generasi muda ini
memiliki kekuatan besar untuk menghidupkan kembali kebanggaan terhadap budaya
dan bahasa Indonesia. Pada tataran ini, peran generasi muda sebagai agen
perubahan sangat krusial. Gagasan ini membawa kebaruan dalam pendekatan, karena
pemanfaatan teknologi digital dapat mengubah cara pandang anak muda terhadap
pentingnya menjaga nilai-nilai tradisi dan bahasa nasional di tengah
perkembangan zaman. Melalui pendekatan yang kreatif dan inovatif, generasi muda
dapat diajak untuk berpartisipasi aktif dalam pelestarian budaya melalui
konten-konten digital yang menarik, seperti vlog budaya, kampanye bahasa
Indonesia, hingga pembuatan aplikasi pembelajaran interaktif berbasis budaya
lokal.
Oleh karena itu, melalui esai ini penulis hendak menggugah kesadaran generasi muda akan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya serta bahasa Indonesia di era digitalisasi, serta mengajak generasi muda menyadari pentingnya peran mereka dalam menjaga dan melestarikan budaya serta bahasa Indonesia, terutama di era digital yang serba cepat dan dinamis. Dengan menggarisbawahi tantangan dan peluang yang muncul di era teknologi ini, diharapkan essai ini dapat memberikan perspektif baru dan inspirasi bagi generasi muda untuk lebih peduli, bangga, dan aktif dalam melestarikan kekayaan budaya serta bahasa Indonesia melalui media digital. Diharapkan, dengan memiliki kesadaran yang lebih tinggi, generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang mampu menjaga kelangsungan budaya dan bahasa Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi, sehingga warisan budaya ini tidak hanya akan terus hidup, tetapi juga berkembang dan semakin dihargai, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada akhirnya, upaya ini tidak hanya untuk mempertahankan identitas bangsa, tetapi juga untuk memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupan masyarakat di tengah perubahan global yang tak terbendung.
Platform digital,
terutama media sosial, telah menjadi salah satu sumber rujukan utama bagi
generasi muda dalam menentukan nilai-nilai berbudaya dan berbahasa. Penguna
internet di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hasil penelitian
mengatakan bahwa pengguna internet di Indonesia tahun 2024 sebanyak 221.563.479
jiwa, dimana mengalami kenaikan presentase sebanyak 2,67% dibandingkan tahun
sebelumnya (Amalia,
2024). Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Pengguna
Internet Indonesia usia remaja merupakan pengguna internet terbanyak di mana
tingkat penetrasi internet di Indonesia pada awal tahun 2024 mencapai 79,5%.
Hal ini didominasi oleh Gen Z (kelahiran tahun 1997 – 2012) yang menjadi
konsumen terbesar di Indonesia, sebanyak 34,40% (Miftahul
Khair, 2024).
Fenomena
meningkatnya pengguna internet terjadi karena media sosial memungkinkan
generasi muda untuk mengakses berbagai informasi secara instan dan terhubung
dengan berbagai budaya di seluruh dunia hanya dengan sentuhan jari. Melalui
platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan Twitter, mereka tidak hanya
terpapar pada konten hiburan global, tetapi juga tren, ideologi, dan gaya hidup
dari berbagai negara (Azkia dkk., 2024). Pengaruh ini membuat nilai-nilai budaya dan bahasa yang
mereka konsumsi sehari-hari sering kali didominasi oleh budaya asing, yang
kerap kali dianggap lebih modern dan relevan dengan kehidupan mereka (Waafyah
& Umam, 2024). Padahal, budaya dan bahasa Indonesia adalah warisan tak ternilai
yang tidak hanya menjadi identitas bangsa, tetapi juga menjadi fondasi bagi
kekuatan dan keberagaman masyarakat kita. Ironisnya, di saat teknologi digital
seharusnya bisa menjadi alat yang kuat untuk melestarikan dan memperkenalkan
kekayaan budaya Indonesia ke dunia, yang terjadi justru sebaliknya, budaya dan bahasa lokal terpinggirkan di tengah derasnya arus
konten asing yang lebih mendominasi (Arfi,
2024).
Generasi muda cenderung melihat apa yang populer di media sosial sebagai acuan atau standar dalam berperilaku, berkomunikasi, bahkan dalam cara mereka mengekspresikan diri (Chanra, 2024). Misalnya, penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, dalam percakapan sehari-hari di media sosial sering kali dianggap lebih "keren" atau "cool" daripada menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini juga terlihat dalam penggunaan istilah-istilah asing yang diselipkan dalam bahasa Indonesia, menciptakan bahasa campuran yang sering kali lebih digemari. Tren ini memperlihatkan bagaimana media sosial membentuk persepsi mereka terhadap bahasa Indonesia, di mana bahasa lokal terkadang dianggap kurang relevan atau ketinggalan zaman dibandingkan dengan bahasa asing yang mereka konsumsi dari konten global (Suminta & Sa’adati, 2024). Fenomena ini mencerminkan betapa pentingnya untuk menumbuhkan kembali rasa kepedulian terhadap budaya dan bahasa Indonesia di kalangan generasi muda, agar mereka tidak kehilangan jati diri sebagai bagian dari bangsa yang kaya akan warisan budaya.
Tantangan Era Digitalisasi terhadap Nilai-nilai dalam Budaya dan Bahasa Indonesia
Tantangan era digital terhadap nilai-nilai, terutama dalam hal budaya dan bahasa, sangat kompleks. Salah satu tantangan utama adalah ketidakpastian transisi antara nilai-nilai lama yang mulai memudar dan nilai-nilai baru yang belum sepenuhnya terbentuk (Liliweri, 2019). Dalam konteks ini, media sosial memainkan peran signifikan sebagai sumber referensi utama bagi generasi muda dalam menentukan norma dan nilai-nilai baru. Namun, tantangan utamanya adalah bahwa media sosial sering kali menawarkan nilai-nilai yang dangkal, sementara nilai-nilai tradisional yang kaya makna mulai kehilangan relevansi di mata anak muda (Sugiharto, 2019).
Di sisi lain,
media sosial juga berperan besar dalam membentuk nilai-nilai budaya yang
diadopsi oleh generasi muda. Banyak dari mereka terinspirasi oleh gaya hidup,
fashion, musik, dan budaya populer yang berasal dari negara-negara Barat atau
Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang (Jannah
dkk., 2023). Fakta nya, fenomena K-pop dan K-drama telah membentuk
selera generasi muda Indonesia dalam musik, mode, bahkan pola hidup. Akibatnya,
anak-anak dan remaja cenderung meniru gaya berpakaian, tata bahasa,
dan bahkan gaya hidup yang ditampilkan oleh artis atau influencer yang
mereka idolakan di media sosial tanpa memahami nilai substansial dari hal tersebut. Ini menunjukkan bagaimana media sosial bisa menggeser perhatian
mereka dari budaya lokal ke budaya global.
Nilai-nilai lama yang memudar, seperti tata krama dalam berbicara, penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, hingga penghormatan terhadap tradisi budaya lokal mulai tergerus oleh perkembangan
digital yang mendorong serba cepat dan instan. Hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan bahasa, generasi muda kerap kali
mengabaikan kaidah berbahasa yang baik, memilih kata-kata yang lebih singkat
dan bercampur dengan istilah asing karena dianggap lebih efisien atau modern.
Norma kesantunan dalam berkomunikasi pun semakin tergerus oleh gaya komunikasi
digital yang informal dan sering kali cenderung kasar, terutama di platform
seperti Twitter dan TikTok, di mana komentar cepat dan spontan menjadi ciri
khas. Misalnya, istilah seperti ngedate, healing, gabut dan sebagainya
dalam percakapan sehari-hari, mengabaikan padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Ini menunjukkan bahwa media sosial berperan besar dalam mendorong penggunaan
bahasa asing di kalangan generasi muda, yang pada akhirnya dapat melemahkan
penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pada saat yang sama, nilai-nilai baru belum terbentuk secara jelas.
Di tengah kekosongan ini, generasi muda berada di persimpangan jalan. Artinya, mereka tidak sepenuhnya berpijak
pada nilai-nilai tradisional, tetapi juga belum menemukan atau mengembangkan
nilai baru yang mapan (I
Wayan Dana dkk., 2022).
Kondisi ini menciptakan ruang di mana media sosial, dengan segala pengaruhnya,
menawarkan nilai-nilai yang sering kali didasarkan pada popularitas, tren, dan
validasi sosial. Apa yang dianggap "bernilai" di media sosial sering
kali ditentukan oleh jumlah likes, followers, atau views, daripada oleh
substansi atau esensi dari suatu nilai itu sendiri. Mereka bisa merasa lebih percaya diri atau
sebaliknya, merasa rendah diri, berdasarkan seberapa banyak interaksi yang
mereka dapatkan dari unggahan mereka. Ini menunjukkan
bahwa nilai kehidupan mereka mulai terikat pada popularitas di media sosial,
yang sering kali bersifat dangkal dan sementara.
Selain itu, tantangan terbesar dari nilai-nilai yang ditawarkan oleh media sosial adalah sifatnya yang sangat mudah berubah. Nilai-nilai ini sering kali berpusat pada tren sementara yang tidak memiliki dasar yang kuat atau konsistensi (Saputra dkk., 2023). Generasi muda sering kali terjebak dalam siklus yang terus-menerus mengejar tren baru, sehingga tidak ada ruang untuk pengembangan nilai yang lebih bermakna. Ketika generasi muda lebih banyak mengunyah konten asing, mereka cenderung meninggalkan bahasa dan budaya lokal. Bahasa Indonesia, khususnya bahasa formal dan baku, mulai dianggap kuno dan kaku. Di sisi lain, budaya lokal seperti tarian tradisional, cerita rakyat, dan adat istiadat mulai kehilangan tempatnya di kehidupan sehari-hari generasi muda karena kalah bersaing dengan budaya populer global. Ini memperlihatkan bahwa media sosial tidak hanya menawarkan nilai-nilai baru, tetapi juga mengarahkan generasi muda pada pola pikir global yang kadang-kadang menjauhkan mereka dari akar budaya mereka sendiri.
Pengaruh Media Sosial terhadap Pembentukan Nilai Kehidupan pada Anak-Anak
di Bawah Umur
Fakta bahwa banyak anak-anak di bawah umur yang mengakses media
sosial tanpa pemahaman yang cukup tentang etika digital menunjukkan kurangnya
literasi digital. Anak-anak belum memahami bagaimana menyaring informasi atau
menilai apakah suatu konten memiliki nilai positif atau negatif. Perkembangan teknologi yang begitu pesat dan kemudahan
akses terhadap internet membuat anak-anak terpapar oleh berbagai konten digital
sejak usia dini (Pramono
dkk., 2021). Media sosial, yang awalnya lebih banyak digunakan oleh
remaja dan orang dewasa, kini juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari
anak-anak kecil. Mereka sering menggunakan platform seperti YouTube, TikTok,
atau Instagram, yang menawarkan beragam konten mulai dari hiburan, pendidikan,
hingga gaya hidup. Sayangnya, tidak semua konten ini memberikan nilai-nilai
yang sesuai atau tepat untuk perkembangan anak.
Tantangan
terbesar dalam situasi ini adalah bahwa nilai-nilai yang diserap anak-anak dari
media sosial sering kali tidak terkontrol. Konten-konten yang mereka konsumsi
mungkin menarik secara visual, namun belum tentu mengandung pesan yang positif
atau mendidik (Lestari,
2020). Misalnya, mereka bisa dengan mudah terpapar pada konten
yang mengandung kekerasan verbal, perilaku tidak pantas, bahasa kasar, atau
nilai-nilai materialistik. Dalam banyak kasus, anak-anak belum memiliki
kemampuan untuk menyaring informasi atau membedakan mana yang benar dan salah,
mana yang patut ditiru, dan mana yang seharusnya dihindari. Akibatnya, mereka
bisa meniru perilaku atau pola pikir yang tidak sesuai dengan norma-norma
keluarga atau budaya mereka. Lebih dari itu, media sosial juga sering kali mengajarkan
nilai-nilai superficial yang berfokus pada popularitas, penampilan
fisik, atau validasi melalui jumlah likes dan followers. Anak-anak kecil
mungkin mulai menilai diri mereka sendiri atau orang lain berdasarkan
standar-standar ini, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi kepercayaan diri dan
pandangan hidup mereka. Alih-alih belajar nilai-nilai penting seperti empati,
kerjasama, atau kesopanan, mereka mungkin lebih tertarik pada hal-hal yang
bersifat permukaan dan sementara, seperti tren mode atau tantangan viral yang
sering kali tidak bermakna (Putra,
2018).
Masalah lain yang muncul adalah kurangnya kontrol dan pengawasan terhadap konten yang dikonsumsi anak-anak. Orang tua atau pendidik sering kali kesulitan memantau semua aktivitas anak di dunia digital, terutama karena sifat media sosial yang sangat dinamis dan terus berkembang. Sementara beberapa platform sudah memiliki fitur parental control, tidak semua orang tua paham atau memanfaatkannya dengan optimal. Akibatnya, anak-anak kecil dapat dengan mudah mengakses konten yang tidak sesuai untuk usia mereka tanpa pengawasan yang memadai.
Media Sosial sebagai Agen Pembelajaran Budaya dan Bahasa bagi
Generasi Muda
Media sosial, sebagai platform yang dominan di era digital,
memberikan pengaruh yang besar terhadap pembentukan nilai budaya dan penggunaan
bahasa di kalangan generasi muda (Sari
dkk., 2024). Namun, media sosial tidak selalu menjadi ancaman bagi
budaya lokal. Jika dimanfaatkan dengan benar, platform digital ini bisa menjadi
alat yang sangat kuat untuk memperkenalkan, dan melestarikan budaya serta
bahasa Indonesia. Di satu sisi, media sosial menawarkan berbagai konten edukatif dan
informatif yang membantu melestarikan budaya dan bahasa Indonesia. Ada kreator
konten yang memanfaatkan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk
memperkenalkan dan mengajarkan bahasa Indonesia yang baik serta mempromosikan
kebanggaan terhadap budaya lokal. Hal ini dapat
dibuktikan dengan beberapa kreator membagikan cerita tentang tradisi, seni, dan
bahasa daerah yang sebelumnya mungkin kurang dikenal oleh kalangan muda. Media
sosial juga telah menjadi sarana bagi komunitas-komunitas budaya untuk
mempertahankan identitas mereka, serta tempat diskusi tentang pentingnya
menjaga nilai-nilai tradisional dalam konteks modern.
Selain itu, ada
banyak konten edukatif, interaktif, dan kreatif yang dapat membantu anak-anak
belajar tentang berbagai hal, mulai dari ilmu pengetahuan hingga seni dan
budaya (Mahardika
dkk., 2023). Misalnya, video-video animasi yang mengajarkan etika,
cerita-cerita moral, atau konten yang mengajarkan bahasa dan matematika dengan
cara yang menyenangkan bisa menjadi alat yang efektif untuk pendidikan
informal. Dalam konteks ini, media sosial dapat berperan sebagai sumber
nilai-nilai positif, asalkan digunakan dengan tepat dan di bawah pengawasan
yang ketat. Selain itu, edukasi digital menjadi hal yang sangat penting.
Anak-anak perlu diajarkan tentang literasi digital sejak dini, seperti
bagaimana menggunakan internet dengan aman, bagaimana menyaring informasi, dan
bagaimana bersikap kritis terhadap konten yang mereka temui di media sosial.
Dengan bimbingan yang tepat, media sosial bisa menjadi alat yang bermanfaat
untuk perkembangan anak, bukan hanya tempat di mana mereka mengadopsi
nilai-nilai yang kurang baik.
Namun, di sisi lain, pengaruh negatif media sosial dalam hal budaya
dan bahasa juga sangat nyata. Banyak dari konten yang beredar justru
memperkenalkan gaya hidup global yang cenderung mengabaikan nilai-nilai lokal. Generasi muda sering terpapar pada konten asing
yang mendominasi media sosial, seperti dari budaya Barat dan K-pop, yang lebih
menarik perhatian mereka dibandingkan dengan konten lokal (Wicaksono
dkk., 2021). Akibatnya,
mereka cenderung mengadopsi budaya asing ini dalam kehidupan sehari-hari,
termasuk gaya berpakaian, perilaku, dan bahkan cara berkomunikasi. Penggunaan
bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan Inggris, atau yang sering disebut
sebagai "bahasa gaul," menjadi tren di kalangan anak muda di media
sosial. Tren ini dapat melemahkan kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, platform media sosial sering kali
menjadi tempat penyebaran konten yang tidak etis atau tidak sesuai dengan
nilai-nilai budaya Indonesia, seperti konten yang mengandung kekerasan verbal,
kebencian, atau komentar yang tidak sopan.
Pengaruh media sosial terhadap berbahasa juga menunjukkan dualitas
yang sama. Sementara ada konten yang mendorong penggunaan bahasa yang formal
dan sopan, banyak juga yang mempopulerkan gaya bahasa yang informal dan
terkadang kasar. Di banyak platform, generasi muda lebih sering menggunakan bahasa yang santai, cenderung tidak
memperhatikan aturan tata bahasa, dan sering kali mencampur bahasa asing dengan
bahasa Indonesia. Hal ini, meskipun dianggap sebagai bentuk kreativitas, dapat
mengancam keberlangsungan penggunaan bahasa Indonesia yang benar di kalangan
generasi muda.
Secara keseluruhan, media sosial belum sepenuhnya memberikan contoh yang baik dalam berbudaya dan berbahasa bagi generasi muda. Meskipun ada potensi positif yang ditawarkan oleh beberapa kreator konten, jumlah konten yang kurang mendukung pelestarian budaya lokal dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik jauh lebih banyak. Tantangan terbesar adalah bagaimana generasi muda dapat menyeimbangkan konsumsi konten media sosial mereka, agar tetap menghargai nilai-nilai budaya dan bahasa lokal tanpa kehilangan identitas mereka di tengah arus globalisasi yang semakin kuat. Dengan demikian, platform digital, khususnya media sosial, telah membentuk cara generasi muda memahami dan menilai nilai-nilai budaya dan bahasa. Media sosial bukan hanya tempat untuk mengonsumsi konten global, tetapi juga bisa menjadi platform yang strategis untuk menghidupkan kembali dan memperkuat budaya serta bahasa lokal, asalkan digunakan dengan visi yang tepat.
Penutup
Sebagai
generasi penerus bangsa, generasi muda memiliki tanggung jawab besar dalam
menjaga dan melestarikan kekayaan budaya dan bahasa Indonesia di tengah
derasnya arus digitalisasi. Di era yang serba terhubung ini, pengaruh media
sosial dan teknologi global telah menciptakan tantangan baru bagi mereka untuk
tetap menghargai identitas lokal. Meskipun digitalisasi membawa banyak manfaat
dalam hal akses informasi dan kreativitas, hal ini juga membawa risiko
tergerusnya nilai-nilai budaya dan bahasa yang telah lama menjadi ciri khas
bangsa. Generasi muda perlu memiliki kesadaran dan kepedulian lebih terhadap
warisan budaya dan bahasa Indonesia agar tidak hanya menjadi konsumen tren
global, tetapi juga pelestari nilai-nilai lokal.
Peran serta
semua pihak, baik pemerintah, institusi pendidikan, hingga keluarga dalam
memberikan bimbingan serta membangun literasi digital yang kuat sangat
diperlukan. Generasi muda harus diajak untuk lebih bangga dan aktif dalam
mengenal, mencintai, dan mengembangkan budaya serta bahasa Indonesia melalui
platform digital. Dengan demikian, di era digitalisasi yang semakin maju ini,
generasi muda tidak hanya mampu mengikuti perkembangan zaman, tetapi juga tetap
teguh dalam menjaga jati diri bangsa. Melalui kepedulian terhadap budaya dan
bahasa Indonesia, kita tidak hanya mempertahankan warisan nenek moyang, tetapi
juga memastikan bahwa nilai-nilai luhur bangsa tetap hidup dan berkembang di
masa depan.
Maka, bahasa
Indonesia menjadi bahasa penghubung di ASEAN bergantung pada seberapa besar
komitmen kita dalam memperkuat posisinya di dalam negeri. Untuk mewujudkan
cita-cita tersebut, penting untuk membangun kesadaran dan kebanggaan akan
bahasa Indonesia melalui pendidikan yang efektif.
Dengan memperkuat pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia di dalam negeri,
kita dapat memastikan bahwa bahasa indonesia dapat berfungsi sebagai jembatan
komunikasi yang kuat dan efektif di kawasan ASEAN, sehingga dapat mempromosikan
identitas dan kekayaan budaya bangsa kita secara lebih luas. Pertanyaannya
sekarang bukan ‘bisakah’ hal itu terwujud’, melainkan ‘maukah kita
memperjuangkannya’.
Daftar Pustaka
Amalia,
P. (2024). Pengaruh Electronic Word Of Mouth Pada Media Sosial Instagram
Terhadap Keputusan Berkunjung Ke Wisata Alam Gunung Dago Kabupaten Bogor
[Thesis, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Pakuan].
http://localhost:8080/xmlui/handle/123456789/8657
Arfi,
R. R. (2024). Dampak Media Sosial Terhadap Partisipasi Politik Di Kalangan
Remaja. Jurnal Sosial Dan Humaniora, 1(1), Article 1.
https://jurnalaaipengdariau.com/index.php/SAKAAI/article/view/11
Azkia,
H. A. N., Herwanto, R. P., & Putri, A. A. (2024). Pengaruh Roleplay di
Media Sosial Terhadap Perkembangan Kepribadian Remaja. Komunikologi: Jurnal
Pengembangan Ilmu Komunikasi dan Sosial, 8(1), Article 1.
https://doi.org/10.30829/komunikologi.v8i1.18544
Chanra,
H. (2024). Dampak Penggunaan Media Sosial Terhadap Kehidupan Remaja. Tarbawi :
Jurnal pemikiran dan Pendidikan Islam, 7(1), 13–24.
https://doi.org/10.51476/tarbawi.v7i1.578
I
Wayan Dana, -, Dewi Munawwarah, -, Menul Teguh Riyanti, -, Farid Abdullah, -,
Ahamad Tarmizi Azizan, -, Bambang Tri Wardoyo, -, Fauziah Astuti, -, I Nyoman
Suaka, -, Iwan Zahar, -, Karna Mustaqim, -, Karolus Budiman Jama, -, Ni Desak
Made Santi Diwyarthi, -, Sri Hartiningsih, -, Uman Rejo, -, Nurul Baiti Rohmah,
-, & Watu Yohanes Vianey, -. (2022). Multikultural dan Prospek Dialog
Lintas Budaya di Era Kebebasan Berekspresi. Pustaka Larasan.
http://repo.ppb.ac.id/282/
Jannah,
S. R., Khoirunnisa, Z., & Faristiana, A. R. (2023). Pengaruh Korean Wave
Dalam Fashion Style Remaja Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Kebudayaan dan Agama, 1(3), 11–20.
https://doi.org/10.59024/jipa.v1i3.219
Lestari.
(2020). Kecakapan Literasi Media di Kalangan Generasi Milenial | Lestari |
Jurnal Ilmu Komunikasi. http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/2781/2827
Liliweri,
P. D. A. (2019). Pengantar Studi Kebudayaan. Nusamedia.
Mahardika,
E. K., Nurmanita, T. S., Anam, K., & Prasetyo, M. A. (2023). Strategi
Literasi Budaya Anak Usia Dini melalui Pengembangan Game Edukatif. Murhum :
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2), 80–93.
https://doi.org/10.37985/murhum.v4i2.287
Miftahul
Khair, N. 222310052. (2024). Efektivitas Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam Oleh Guru Profesional Dalam Menghadapi Tantangan Generasi Z di SMAN 1 PAREPARE [Other,
Universitas Muhammadiyah Parepare].
https://repository.umpar.ac.id/id/eprint/770/
Pramono,
D., Yunita, S., Erviana, M., Setianingsih, D., Winahyu, R. P., &
Suryaningsih, M. D. (2021). Implementasi Penggunaan Teknologi oleh Orang Tua
sesuai Pendidikan Karakter Moral untuk Anak Usia Dini. Journal of Education and
Technology, 1(2), Article 2.
Putra,
E. R. (2018). Pendidikan di Indonesia Holisme, Pragmatisme & Disrupsi.
Rasibook.
Rogamelia,
R., & Istiani, A. N. (2024). Peran Media Sosial dalam Perkembangan
Psikologis Anak dan Remaja. Indonesian Research Journal on Education, 4(2),
Article 2. https://doi.org/10.31004/irje.v4i2.547
Saputra,
A. M. A., Tawil, M. R., Hartutik, H., Nazmi, R., Abute, E. L., Husnita, L.,
Nurbayani, N., Sarbaitinil, S., & Haluti, F. (2023). Pendidikan Karakter Di
Era Milenial: Membangun Generasai Unggul Dengan Nilai-Nilai Positif. PT.
Sonpedia Publishing Indonesia.
Sari,
N. Z. P., Luthfi, D. M., Daulatil, E. A., Daniswanto, A. M. K. S., Oktavia, K.
N., & Putri, S. J. (2024). Media Sosial Dan Penguatan Nasionalisme Dalam
Tren dan
Implikasinya Era Digital. Jurnal Media Akademik (JMA), 2(5), Article 5.
https://doi.org/10.62281/v2i5.339
Sugiharto,
B. (2019). Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi: Kajian Filosofis Atas
Permasalahan Budaya Abad ke-21. PT Kanisius.
Suminta,
R. R., & Sa’adati, T. I. (2024). Dinamika Psikologis Anak Remaja Awal
Pengguna Media Sosial. Jurnal Penelitian Psikologi, 15(1), Article 1.
https://doi.org/10.29080/jpp.v15i1.1197
Waafyah,
N. W., & Umam, N. K. (2024). Analisis Pengaruh Media Sosial Terhadap Bahasa
Komunikasi Anak Dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal Onoma:
Pendidikan, Bahasa, dan
Sastra, 10(1), Article 1. https://doi.org/10.30605/onoma.v10i1.3379
Wicaksono,
M. A., W, A. P., & Maryana, D. (2021). Pengaruh Fenomena Tren Korean Wave
Dalam Perkembangan Fashion Style Di Indonesia. Jurnal Sosial-Politika, 2(2),
Article 2. https://doi.org/10.54144/jsp.v2i2.35