Oleh: Rangga Agnibaya
Program
Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) dapat dikategorikan sebagai kebijkan
dalam ranah pendidikan yang bersifat revolusioner, meski masih compang-camping
dalam pelaksanaan di lapangan. Dikatakan revolusioner, sebab program ini secara
teknis menerapkan beberapa terobosan yang belum ada di kurikulum pendidikan
tinggi sebelumnya. Misalnya, mahasiswa
dimungkinkan untuk menumpuh perkuliahan di luar prodinya sendiri. Mereka bebas
memilih beberapa matakuliah yang dianggap sesuai dengan kebutuhan mereka, yang
tentu diharapkan memiliki kesesuaian dengan tantangan dan problem yang kelak
dihadapi di lingkungan di mana mereka hidup.
Kebebasan
untuk memilih merupakan satu hal yang positif, sebab mahasiswa sebagai individu
memiliki kesadaran penuh dalam proses pendidikan yang ditempuhnya. Raison d’etre-nya adalah: menentukan
pilihan mensyaratkan sebuah kesadaran penuh. Kebebasan dan kesadaran, dua kata
kunci yang menjadikan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka memiliki keterkaitan
erat dengan konsep Pendidikan Kaum Tertindas milik Paulo Freire.
Pendidikan Kaum Tertindas
Paulo
Freire, seorang filsuf sekaligus aktivis pendidikan asal Brazil, mengembangkan
sebuah model pendidikan yang revolusioner. Model pendidikan tersebut diuraikan
secara jelas oleh Freire dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas. Buku itu kini menjadi rujukan aktivis
pendidikan di seluruh dunia yang menolak model pendidikan konvensional yang
memosisikan pendidik (guru, dosen, dan lainnya) sebagai subjek, sedangkan
peserta didik (murid, mahasiswa, dan lainnya) sebagai objek dalam proses pengajaran.
Proses
belajar dalam model konvensional menjadikan seorang pendidik sebagai pusat kegiatan,
sebaliknya murid adalah pelengkap belaka dalam proses tersebut. Pendidikan
model konvensional, Freire menyebutnya Pendidikan Gaya Bank, memposisikan guru
sebagai ‘yang maha tahu’, sedangkan murid bodoh dan tak mengerti apa-apa. Pola
pengajaran yang terjadi adalah: guru bercerita dan murid patuh mendengarkan;
Guru menentukan peraturan, murid diatur; dan seterusnya[1].
Dengan
tajam Freire menggugat, bahwa pendidikan yang memposisikan guru sebagai orang
yang tahu segalanya, sedangkan murid adalah bodoh, merupakan salah satu manifestasi
paling nyata dari ideologi penindasan. Terlebih lagi, Freire melanjutkan, para
murid menerima secara mutlak kebodohan mereka sebagai pengesahan dari keberadaan
atau eksistensi sang guru. Hal ini bermakna, bahwa dalam proses pendidikan
tersebut justru guru atau pendidik yang menjadi aktor utamanya. Murid sebatas
unsur yang menunjang eksistensi seorang guru.
Dalam
pendidikan gaya bank, murid diasumsikan seperti bejana yang kosong, dan siap
dituangi berbagai ‘informasi yang dianggap perlu’ untuk kebaikan masa depannya.
Apa yang disebut sebagai ‘informasi yang dianggap perlu’ di sini tentu merujuk
pada kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh guru. Maka, murid mendapatkan
pengetahun bukan dari persinggungan langsung dengan dunia, konsekuensinya tidak
ada kesadaran akan dunia di benak sang murid. Freire mencela, “Peran pendidik
dalam pendidikan semacam itu adalah mengatur bagaimana ‘dunia masuk ke dalam
diri’ sang murid.” Artinya, bukan murid yang secara sadar menghendaki
pengetahuan tentang dunia masuk ke dalam dirinya. Problem epistemologis ini menjadikan
murid menjadi pribadi pasif sekaligus tidak memiliki daya kreatifitas. Apa lagi
nalar kritis.
Pendidikan Sebagai Ideological State Apparatuses
Realitas
faktual dalam dunia pendidikan kita tidak dimungkiri menjadi gambaran paling
jelas dari praktik pendidikan gaya bank. Dari jenjang paling rendah hingga
tingkat perguruan tinggi, pendidikan gaya bank yang dikritik oleh Paulo Freire
ini menjadi model pendidikan favorit. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan.
Dosen menerangkan sebuah pengetahuan, mahasiswa khusyuk mendengarkan. Lebih
jauh, guru dan dosen akan senang jika murid atau mahasiswa dapat menjelaskan
kembali dengan sempurna apa yang telah diterangkan sebelumnya. Mereka
menghafal, tidak dituntut untuk memahami. Pertanyaan tentang apa, siapa, berapa,
dan bagaimana, lebih diutamakan dari pada pertanyaan ‘mengapa’.
Pada
masa Orde Baru (Orba), yang menjadi penanda kediktatoran Soeharto, pertanyaan ‘mengapa’
dianggap lebih berbahaya dari pertanyaan apa, siapa, berapa dan bagaimana.
Pertanyaan: “Bagaimana presiden Indonesia dipilih?” tidak lebih berbahaya dari
pertanyaan: “Mengapa seseorang boleh dipilih berkali-kali menjadi presiden?”
Dua pertanyaan tersebut di era rezim Soeharto memiliki dampak yang berbeda bagi
sang penanya. Hal ini menjadi penyebab mengapa kekuasaan yang cenderung korup
tersebut bisa bertahan selama 32 tahun. Sedikit yang berani mempertaruhkan
segalanya (termasuk nyawa) hanya untuk bertanya: ‘mengapa?’
Ideologi
penindasan mengambil wujudnya yang paling nyata pada era Soeharto di Indonesia.
Ketika itu tidak ada ruang untuk kritisisme: selalu mempertanyakan segala
hal-ihwal sesuatu. Penguasa yang melayani ideologi penindasan mempunyai
kepentingan agar individu yang tumbuh melalui proses pengajaran di lembaga
pendidikan menjadi objek yang patuh, tertib, dan mati nalar kritisnya.
Pendidikan menjadi alat untuk berkuasa. Terlebih jika itu merupakan pendidikan
gaya bank.
Cacat
epistemologis yang ada pada pendidikan gaya bank menjadikan seorang murid
menjadi individu yang pasif, minim kreativitas, dan tak punya nalar kritis. Apa
yang ada di dalam benak individu semacam itu, termasuk stock of knowledge yang dimilikinya, merupakan hasil pemaknaan guru
terhadap dunia, dan bukan miliknya sendiri. Kreativitas dan nalar kritis hanya
ada di dalam benak individu yang aktif melakukan persinggungan langsung dengan
dunia, dan aktif memberi makna pada realitas yang ada di sekitarnya. Membiarkan
seorang anak untuk sesekali terjatuh agar memahami apa itu rasa sakit, lebih
efektif dari pada menjelaskan secara bertele-tele apa itu rasa sakit kepadanya,
misalnya.
Terkait
hubungan antara pendidikan dan kekuasaan, Louis Althusser dalam bukunya Essays On Ideology mengklasifikasikan
pendidikan sebagai Ideological State Apparatuses/
ISA (Aparatus Negara Ideologi). ISA merupakan instrumen negara yang berfungsi
untuk mengendalikan wilayah kesadaran masyarakat (dalam teori Marxisme wilayah
ini masuk pada Suprastruktur[2]).
Pendidikan, seperti halnya ISA yang lain: Kebudayaan, Agama, Hukum, Keluarga,
dan Komunikasi, tidak bersifat memaksa atau represif, akan tetapi menghegemoni.
Ia bermain di wilayah kesadaran. Konsekuensinya, segala sesuatu yang menjadi
agenda negara, termasuk kemungkinan adanya ideologi penindasan, diterima
sebagai sesuatu yang lumrah, apa adanya, dan diterima tanpa dipertanyakan lagi.
Penindasan yang terjadi seolah telah disepakati oleh semua pihak, baik yang
tertindas maupun yang menindas, sebagai konsesus yang adil. Dengan demikian,
bisa dibayangkan betapa vitalnya ranah pendidikan dalam konstelasi kekuasaan.
Untuk
menggantikan pendidikan gaya bank yang dianggap hanya melayani ideologi
penindasan, Freire menawarkan alternatif lain, yakni pendidikan ‘hadap-masalah’
(problem-posing). Pendidikan hadap-masalah
yang ditawarkan Freire menekankan pada aspek persinggungan langsung murid
dengan realits faktual. Jika pendidikan gaya bank menekankan peran sentral guru
dalam ‘memasukkan dunia’ ke dalam benak murid, sebaliknya pendidikan
hadap-masalah menuntut murid agar berhadapan langsung dengan dunia dengan
segala kemungkinannya, sekaligus aktif melakukan pemaknaannya sendiri atas
dunia. Dengan demikian, besar kemungkinan muncul kesadaran atas situasi yang
sebenarnya sedang dialami melalui tindakan reflektif dan evaluatif: tertindas
atau menindas, maju atau terbelakang, bodoh atau cakap, dan segala kondisi yang
mungkin saja terjadi. Dalam konteks inilah kritisisme lahir.
Selanjutnya,
ketika murid sudah menginsafi situasi dirinya, mereka sendiri yang harusnya
menentukan hendak mempelajari apa, mencari wawasan tentang apa, meningkatkan
kemampuan diri dalam hal apa, dan seterusnya, sesuai dengan tantangan dan
masalah yang ada di dalam kehidupannya, serta target-target yang hendak
dicapai. Peran guru hanya sebatas fasilitator. Freire juga menegaskan bahwa
dalam pendidikan hadap-masalah terjadi hubungan resiprokal (kesalingan) antara
guru dan murid. Guru berperan sebagai ‘guru sekaligus murid’, di sisi yang lain,
murid juga berperan sebagai ‘murid sekaligus guru’. Keduanya menjadi aktor
utama di dalam proses pendidikan. Tidak ada yang benar-benar bodah, dan tidak ada
yang benar-benar tahu segalanya.
Program
Kampus Mengajar (yang juga menjadi bagian dari program Merdeka Belajar-Kampus
Merdeka) dapat dijadikan gambaran bagaimana mahasiswa (sebagai murid)
dihadapkan langsung dengan realitas faktual ketika mengajar di sekolah-sekolah
yang ditunjuk. Mahasiswa dapat langsung merasakan masalah-masalah yang ada di
dunia pendidikan, salah satunya: tantangan ketika mengajar di sekolah dengan
fasilitas yang kurang menunjang, serta bertemu dengan berbagai karakter yang
ada di lingkungan sekolah. Dengan bersinggungan langsung dengan fakta lapangan,
dan tidak sebatas teori di dalam kelas, mahasiswa dilatih untuk tidak gagap
ketika benar-benar terjun ke masyarakat kelak.
Keberanian
dan kemampuan menilai situasi diri dan lingkungan yang dihasilkan melalui
pendidikan hadap-masalah menjadi penanda adanya kritisisme. Kritisisme penting
untuk membongkar ideologi penindasan yang mungkin bersembunyi di balik realitas
sehari-hari yang tampak normal. Pembagian tugas seperti; bapak berkerja
sedangkan ibu tinggal di rumah mengurus anak-anak, misalnya. Pandangan bias
gender tersebut dapat digugat oleh murid perempuan yang telah tumbuh kesadaran
kritisnya, bahwa praktik yang mensubordinasikan perempuan sekadar di wilayah
domestik dan satu level di bawah laki-laki
merupakan konstruksi sosial. Konstruksi sosial tersebut dilegitimasi
oleh norma-norma yang telah lama dipercaya tanpa dipertanyakan lagi: budaya
patriarki a la jawa, atau nilai-nilai agama
tertentu. Apa yang sesungguhnya bersifat konstruksi sosial yang
subjektif dan sarat kepentingan, menjadi sesuatu yang taken for granted (sudah semestinya) dan tabu untuk dipertanyakan,
apa lagi digugat. Pada aras ini, penindasan menunjukkan sifatnya yang paling
kejam: situasi penindasan seolah disepakati oleh kedua belah pihak, baik si
penindas maupun si tertindas.
F.
Budi Hardiman dalam bukunya Kritik
Ideologi menulis, “Melalui praktik kritik ideologi diharapkan muncul
manusia yang sadar akan penindasan sosial atas dirinya dan mau bergerak membebaskan
diri.” Kritik ideologi merupakan sebuah tindakan mempertanyakan kembali situasi
atau realitas yang telanjur mapan dan tak tersentuh, padahal di baliknya terdapat
relasi kuasa yang tidak seimbang. Segala hal (pemerintahan, sistem kepercayaan,
sistem norma dan nilai, praktik keseharian, dan lain-lain) yang anti kritik dan
tabu untuk dipertanyakan, sekaligus dipercaya secara membabi buta, berpotensi
‘membeku’ menjadi mitos atau ideologi yang menghalalkan darah pihak yang
mencoba untuk mempertanyakannya.
Ajaran
Karl Marx: Marxisme, misalnya. Marxisme pada mulanya merupakan ideologi
pembebasan, karena dasar ajaran ini adalah anti penindasan dalam segala
wujudnya. Banyak negara-negara Asia-Afrika pada awal abad ke-20 yang menjadikan paham Marxisme sebagai
pedoman perjuangan dalam rangka memerdekakan diri dari kolonialisme. Namun
demikian, ketika Marxisme digunakan oleh Lenin sebagai alat pembenaran
kediktatorannya di Rusia, ia tidak lagi menajadi ideologi pembebasan. Semua
pihak yang mencoba mengkritisi Marxisme-Leninisme (menjadi dasar Komunisme)
dibantai habis oleh Lenin. Jutaan orang Rusia bahkan kehilangan nyawanya.
Marxisme berubah menjadi ideologi penindasan.
Oleh
sebab itu, pendidikan yang mampu melahirkan nalar kritis merupakan sebuah kebutuhan
yang mendesak. Nalar kritis yang dilahirkan melalui proses pendidikan digunakan
untuk membebaskan diri dari situasi yang tidak menguntungkan, sehingga
kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan bergerak untuk mengubah
kondisinya menjadi lebih baik. Pertama, mereka akan mengevaluasi kondisi dan
situasi diri dan lingkungannya, ketika sadar ternyata dalam situasi tertindas,
selanjutnya mereka akan melakukan perlawanan atau perubahan. Artinya,
pendidikan yang membebaskan merupakan suatu praktik kritik ideologi.
Pada Akhirnya
Pendidikan
hadap-masalah yang ditawarkan oleh Paulo Freire menjadi relevan pada masa kini.
Kebebasan berpikir, kesadaran akan proses pendidikan, dan kritisisme yang
dimiliki oleh murid menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk bekal mengarungi
realitas kehidupan yang keras. Namun, semua itu dapat terlaksana jika terdapat,
meminjam istilah Jurgen Habermas[3],
‘komunikasi bebas penguasaan’ yang memungkinkan terjadinya hubungan resiprokal
(kesalingan) guru-murid, seperti yang telah diulas sebelumnya.
Akhir Juli 2022
Jiwan, Madiun.
Buku
Bacaan:
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LPES.
Louis Althusser, Tentang Ideologi, Jalasutra.
F Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius.
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia Pustaka Utama.